Malam selalu enggan berhubungan baik dengan hatiku, justru ia malah mesra dengan kenangan-kenangan masa lalu. Semakin larut dan semakin pekat kegelapan yang menyertainya, membawa serta rengkuhan pahit yang menggores bekas-bekas luka. Meskipun rembulan maupun ribuan bintang hadir, tak ada artinya, yang mendominasi tetaplah langit gelap. Begitu juga hatiku, tak peduli dengan ribuan motivasi, semuanya tak berarti, karena yang mendominasi dan selalu menjadi pemenang dalam gulita malam, hanyalah bayang masa lalu yang memberi rasa sakit.
Sesak dada ini di kala terus-menerus mengatupkan bibir demi menahan diri untuk tidak mengaduh, untuk tidak menimbulkan simpati orang lain. Hanya rengkuhan diri ini yang dapat menemani. Menguatkan diri sendiri. Berharap semuanya akan segera berakhir.
Namun, semakin lama aku bertahan dengan setiap rasa sakit yang terpendam, hatiku semakin berantakan, tak beraturan, tak karuan. Pecahan-pecahan kaca bertaburan di sekelilingku, cahaya terang pun meredup. Berulang kali aku meyakinkan diri supaya tetap waras, supaya tetap hidup di tengah gempuran godaan-godaan setan yang memintaku untuk pulang sebelum waktunya.
“Apaan sih? Dasar manusia freak!!”
“Dih!”
“Lebay!”
“Caper banget sih!”
Roda ingatan terus berputar, menampilkan memori-memori buruk. Dipandang sebelah mata, diragukan, diabaikan. Cacian, tuduhan, cibiran, beserta tatap tak bersahabat terus menghantui.
Aku menutup kedua telinga. Tapi riuh isi kepala, tak bisa dihentikan.
Jika yang berisik itu isi kepala, lantas bagaimana caraku membungkamnya?
Sahabatku menggapai jari jemariku yang menutup rapat daun telinga. Dia menatapku sambil memberi anggukan kecil, seolah berkata, semua akan baik-baik saja.
“Setelah kamu cerita, aku benar-benar tak menyangka, kamu masih memendam semua rasa sakit itu? Padahal semua itu sudah berlalu lama sekali. Tapi aku mengerti, seperti katamu, tidak setiap orang mampu berdamai dengan masa lalunya secepat kilat. Proses setiap orang berbeda-beda.” Tatapannya iba, tapi tak sekali pun aku merasa buruk—tidak seperti yang aku duga sebelumnya—jalinan kasih sayang di antara kami, membuat pembicaraan ini terasa nyaman. “Aku gak bisa bantu banyak. Tapi, aku cuma mau bilang sesuatu ke kamu, sebagai sahabat baikmu.” Tatapannya sungguh dalam, saat aku tenggelam di sana, aku merasakan ketulusannya merengkuh diri yang rapuh ini.
Aku lantas mengangguk, bersedia mendengar nasehat, barang sepatah dua kata.
“Kamu terjebak di masa lalu. Tapi, orang-orang yang pernah berbuat buruk padamu, tidak mengingatnya. Bahkan, mereka hidup dengan bahagia tanpa menengok ke belakang. Adil kah? Hatimu tertinggal di masa lalu, sedang mereka bahagia dengan masa kininya?”
Kedua tangan lembutnya memegang kedua pipiku. Aliran anak sungai yang jatuh dari pelupuk mata, lantas ia usap. “Kamu pasti bisa move on. You are kind, you are smart, you are important.”
Aku terdiam mendengarnya. Berhari-hari, nasehat yang dilontarkan sahabatku terus terngiang. Ucapannya seperti mengandung sihir, setiap hari otakku tak berhenti mencernanya. Bahkan, saking sibuknya mencerna kata-kata itu, tanpa sadar, malam-malam durjana itu tak terasa mencekam.
Seiring berjalannya waktu, malam mempunyai hubungan yang baik denganku. Ia tak lagi datang membawa sesak. Bulan purnama di atas sana, terlihat lebih menawan dari biasanya. Dominasi langit kelam, tak lagi menutupi pesonanya. Justru, jika langit itu tak gelap, apakah purnama dan bintang-bintang di sekitarnya akan semenawan itu?
Kini, aku telah sampai pada suatu kesimpulan, life must go on.
***
By: Nur Aida Hasanah
maa syaa Allah..
BalasHapusso touching, yes you're precious!
keep moving on, cause life must going on! ♡