Cahaya
lampu di sebuah rumah seketika redup tatkala seorang perempuan menekan saklar
lampu dan menyisakan cahaya dari sebuah lilin di atas kue. Safira, bibirnya
tertarik ke samping membentuk senyuman sambil memegangi kue ulang tahun
berdiameter 30 cm itu. Ia berjalan mengendap-ngendap menuju sebuah pintu.
Tok,
tok, tok!
“Kiana,
kamu udah tidur belum? Buka pintunya, dong, dek!”
Safira mendekatkan daun telinga ke pintu yang terkunci itu. Tidak mendengar apa-apa. Ia yakin pasti adiknya sudah tidur, makanya tidak menyahut. Ia pun kembali menyalakan lampu dan menyimpan kue tersebut di meja, lalu ditutupnya dengan tudung saji. Safira menghela napas panjang, sedih karena ia pulang kemalaman. Bukan disengaja. Perempuan itu seharian berjualan milik orang lain, kemudian ketika tabungannya belum cukup untuk membeli kue dan kado untuk adiknya, dia berlanjut ngojek online untuk menutupi kekurangan sampai akhirnya pulang tepat jam sembilan malam, berbeda dari biasanya.
Setelah membersihkan badan, ia pun ke kamarnya. Safira melaksanakan sunnah-sunnah sebelum tidur seperti biasa. Usainya, ia memposisikan badan terlentang, menatap langit-langit kamar. Pikiran-pikiran buruk selalu menjadi bayang-bayangnya, terutama kejadian masa lalu yang menewaskan kedua orang tuanya. Hal itu terekam jelas di otaknya sampai detik ini. Padahal kejadian traumatik itu sudah berlalu satu tahun. Tanpa diundang, air mata pun mengalir ‘tak tertahankan.
Jarum jam terus berputar dan sepasang mata perempuan itu masih terbuka. Berbagai cara sudah dicoba, namun tetap saja tidak mampu membuatnya tertidur. Safira akhirnya mengambil posisi duduk, lantas meraih bingkai foto kedua orang tuanya. Jemarinya mengusap foto mereka.
“Bu,
Pak, maafin Safira, ya? Aku kangeeen banget sama ibu dan bapak.”
***
Semburat mentari menunjukkan waktu sudah pagi. Perempuan berseragam putih abu tengah berkaca di depan meja rias sederhana seraya mengoles bibir dengan lipbalm, lantas menggosok- gosokkan kedua bibirnya. Usainya, ia mengambil sesuatu dan berusaha menyemprotkan pada bajunya. Tidak keluar apa-apa dari botol itu.
“Agh!
Parfumnya abis. Malu banget aku kalo gak pake parfum ke sekolah,” ujarnya
sedikit kesal.
Ia
melempar asal botol parfum kosong tersebut, kemudian menyambar tas sekolahnya
di atas tempat tidur. Berjalan keluar kamar dan menuju dapur untuk mengisi
botol minum. Ia dikagetkan dengan sesuatu sesampainya di dekat meja makan.
“Happy
birthday, Kiana!” ucap Safira sambil tersenyum, mengasongkan kue ulang
tahun yang semalam ia bawa.
“Apaan,
sih! Aku udah tau ada kue itu tadi. Ultahku udah kelewat juga,” jawab
Kiana dengan datarnya. By the way, Kiana salfok pada mata Safira yang
sembab. Dia yakin pasti semalam kakaknya menangis.
Entah
kenapa Safira merasa sesak, melihat adiknya yang sama sekali tidak terlihat
senang dengan kejutannya. Ya, ia berpikir dirinya salah karena tidak
menyembunyikan kuenya tadi malam.
“Hehe,
maaf, dek. Kemarin aku pulang kemaleman, jadi kamunya udah tidur. Mau potong
kue?”
“Gak
asik. Nanti aku mau bawa temen-temenku ke sini. Kuenya jangan diapa-apain!”
“O-oke
siap,” balas Safira sembari menyimpan kuenya di meja makan. “Aku beliin kado
buat kamu tau. Bentar, ya, kuambil dulu.”
Kiana
mencebikkan bibir, sedikit tidak yakin dengan hadiah yang disiapkan kakaknya.
Semenjak ditinggal orang tuanya, hidup mereka memang agak susah, apalagi jauh
dari keluarga ibu atau bapaknya. Safira yang baru lulus SMA langsung dipaksa
keadaan untuk mencari uang demi tetap hidup. Ketika Kiana memerlukan sesuatu,
Safira terkadang kesulitan untuk memenuhinya. Oleh karena itu, Kiana yakin
pasti kakaknya akan memberikan hadiah kecil untuknya.
Safira
kembali dengan menenteng totebag ukuran besar, mengundang penasaran
Kiana. Perempuan yang mengenakan pashmina cream itu tersenyum dan menyerahkan
tasnya kepada Kiana. Dengan cepat Kiana menerima dan membukanya.
“Uwoo
….” Kiana tampak mengagumi hadiah dari Safira, yaitu sepatu ventela model
terbaru yang sedang hits. Ia mencium bau khas sepatu baru, tersenyum mekar.
Melihat
itu, Safira ikut senang karena adiknya tampak menyukai sepatu itu. “Maaf karena
aku baru bisa beliin permintaan kamu sekarang, Ki. Tapi, kamu senang, ‘kan?”
kata Safira yang kemudian merangkul adiknya.
Perempuan berambut sebahu itu langsung melepaskan tangan Safira. “Kakak emang bisa beliin aku sepatu ini, tapi bukan berarti aku udah maafin kakak. Penderitaanku setahun ini tidak bisa dibayar dengan sepatu.”
Safira tersenyum tipis sambil manggut-manggut. “Iya, Dek. Sarapan dulu, yuk! Pagi ini aku sengaja masak tomyam kesukaanmu tau,” kata Safira sambil menyajikan nasi untuk adiknya.
“Gak,
aku mau sarapan di sekolah aja.”
Safira
langsung menyimpan centong nasinya. “Oh, yaudah aku bekalin aja, ya.”
“Gak
usah! Yakali aku bekel tomyam ke sekolah. Mana kebanyakan airnya lagi daripada
isinya. Malu-maluin,” tolak Kiana seraya melipatkan kedua tangan di atas perut.
“Aku
minta buat beli parfum aja, Kak. Udah abis,” katanya lagi sambil mengisi botol
minum dari galon.
Satu
jam berlalu. Perempuan berjilbab pashmina itu sudah menjalani rutinitasnya
selama satu tahun ini. Dia membantu melayani pelanggan dalam berjualan bakso.
Sebetulnya Safira ingin berhenti di sana karena terasa capek. Namun, ia
mengurungkan niat karena pemilik usaha itu mencegahnya dengan mengiming-imingi
akan menaikkan upah hariannya. Ya, memang upah Safira sangat kecil dengan
pekerjaan yang cukup melelahkan. Usaha bakso mboknya sangat ramai setiap hari.
“Saf,
sambil nunggu, cuci mangkuk-mangkuknya, ya. Saya ke rumah bentar,” titah Mbok
Siti yang merupakan pemilik usahanya.
Baru
saja mengantarkan delapan porsi buatannya, Safira sudah langsung menerima
perintah.
“Baik,
Bu.”
‘Apa
aku keluar aja, ya? Lagian mbok sampai saat ini gak naikin upah aku di sini.
Aku yakin sama Allah bakal punya pekerjaan yang lebih baik dari ini dengan
ijazah SMA aku,’ tutur Safira sembari mencuci mangkuk-mangkuk.
“Mbak,
bikin dua yang setengah porsi, ya. Gak pake mie,” ucap seorang pembeli yang
datang bersama rekannya.
“Mbak!
Saya barusan ngomong, loh. Orang mau beli, kok, gak dilayanin!”
Safira
sontak mengerjapkan mata, kaget mendengar pernyataan orang asing tersebut.
“Astaghfirullah. Ma-maaf, Mbak, saya tidak fokus. Mbaknya pesan apa?”
Begitulah
akhir-akhir ini. Safira selalu mendapatkan teguran saat bekerja. Dia sadar
bahwa jika sudah lelah dan tetap dipaksakan, kinerjanya akan menurun. Jika
bukan karena adiknya, ia mungkin akan rela kelaparan beberapa hari untuk
beristirahat sejenak. Tetapi, tidak mungkin jika Safira putus mencari uang. Ia bekerja
untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai satu-satunya kakak yang dimiliki
Kiana. Juga untuk mewujudkan keinginannya, yaitu bermain ke panti asuhan.
Tepat
pukul 17.30 WIB Safira sampai di rumah yang terkunci dari luar. Begitu masuk, semua
ruangan agak gelap. Begitu lampu dinyalakan, Safira disuguhkan dengan
benda-benda di atas meja yang berantakan. Ada sisa kue yang telah dipotong. Ia
yakin kalau adiknya telah merayakan bersama teman-temannya di sini. Safira
langsung membereskan semua dan mencucinya. Tak lupa ia juga mencicipi kue
brownies yang disisakan adiknya.
Azan
maghrib berkumandang, Safira sudah berada di atas sajadah sambil berdzikir.
Disisi lain ia memikirkan Kiana yang belum pulang. Anak itu tidak bisa
dihubungi, entah apa yang dilakukannya di luar. Safira menunaikan salat,
kemudian membaca Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Ia adalah juara qori’
sewaktu masih SMA. Sangat banyak keutamaan membaca Al-Qur’an sampai-sampai
tertulis di setiap bagian bawah halaman mushaf Safira. Mushaf yang dipegangnya
adalah pemberian temannya yang kuliah ke Turki.
Di
ambang pintu, Kiana berdiri memandang punggung Safira yang berbalut mukena.
Bulir bening jatuh dari sudut matanya. Saat Safira berhenti di akhir ayat,
Kiana langsung tersadar bahwa dia harus membawakan air untuk kedua sahabatnya.
Karena mendengar Safira mengaji, perhatiannya teralihkan.
“Dek,
kapan pulang?” tanya Safira saat Kiana hendak pergi.
Kiana
menoleh, lalu menjawab, “Barusan. Btw, di ruang tamu ada Zainab sama
Saski mau nginep. Aku mau ambilin air buat mereka.”
“Biar
kakak aja. Kamu temani aja mereka.”
Tanpa
menyahut lagi, Kiana langsung setuju dan kembali ke ruang tamu. Tidak lama
kemudian, Safira datang membawakan air dan cemilan yang ada. Zainab dan Saski
sudah kenal dengan Safira karena mereka seringkali menginap di sana. Diantara teman-teman
Kiana, Safira paling suka dengan mereka berdua karena membawa pengaruh baik untuk
Kiana.
“Hai,
Kak Safira. Apa kabar?” sapa Saski sembari menghampiri Safira dan menyalaminya.
“Alhamdulillah
baik. Saski sama Zainab gimana?”
“Baik
juga, Kak. Ngomong-ngomong, gakpapa, nih, kita nginep di sini? Hehe,”
ucap Zainab terkekeh kecil.
“Gak
boleh! Kalau bukan kalian.”
Mereka
tertawa bersama mendengar celotehan Safira, kecuali Kiana yang hanya tersenyum
tipis. Dia tahu kedua temannya sangat mengagumi sosok kakaknya itu. Jadi, mereka
akan bersikap sangat baik di sana. Berbeda dengan teman-teman nongkrong di luar
sekolahnya—yang tadi merayakan ulang tahun, mereka blak-blakan bilang kepada
Kiana bahwa mereka tidak suka dengan Safira karena tidak membebaskan Kiana
dalam bergaul. Kiana melenggang pergi ke arah dapur. Sedangkan Safira
ngobrol-ngobrol dengan keduanya.
“Kak
Safira, kok, sisa kuenya berkurang?” tanya Kiana tiba-tiba, sambil
membawa brownies di tangannya.
“Tadi
aku cicipi sedikit, Ki.”
Tanpa
aba-aba, Kiana langsung melempar kue itu ke arah Safira sampai kue dan cream-nya
bercerai-berai mengotori lantai. Safira menutup mulut seraya membulatkan mata.
Zainab dan Saski saling beradu pandang, kaget.
“Kenapa,
sih? Aku sengaja sisain buat Zainab sama Saski! Kalo kakak gak niat
ngasih, gak usah pake ngasih kejutan-kejutan segala!” bentak Kiana meninggikan
suara. Kedua temannya menggelengkan kepala, memberi kode agar tidak usah
dipermasalahkan.
“Ma-maaf
karena aku g-gak izin dulu, Dek.”
Wajah
Kiana merah padam. “Kakak tuh udah merenggut kebahagiaan hidup aku! Apalagi
semenjak Kakak bunuh orang tuaku!!”
Perempuan
berjilbab hitam bergetar sekujur tubuh. Air matanya sudah membasahi pipi, tidak
menyangka adiknya akan semarah itu. Mendengar penuturannya, Safira langsung
menyahut, “Kiana, orang tuamu juga orang tuaku! Kamu tau kejadiannya gimana,
tapi kenapa masih nyalahin aku?! Aku juga sama menderita kayak kamu, Ki! Jauh
lebih menderita!”
Safira
berlari meninggalkan ruangan tamu itu sambil terisak. Ia tidak bisa menahan
sakitnya. Lukanya terasa dicabik-cabik, padahal dia sudah berusaha menutupnya.
Jika bisa menawar, Safira ingin dirinya saja yang tewas dalam kebakaran rumah
itu daripada harus hidup dibenci oleh adiknya sendiri. Usaha dirinya selama ini
tidak cukup untuk membuat Kiana sadar dan memaafkannya.
“Ki,
maaf tapi menurutku sikapmu sangat berlebihan. Kamu liat Kak Safira nangis,
‘kan? Artinya ucapan kamu sangat menyakiti perasaannya,” tutur Zainab berusaha
menyadarkan Kiana.
Mendengar
itu dari sahabatnya, Kiana tidak terima. “Maksud kamu belain Kak Safira apa,
Zai?”
“Kamu
pikir kakakmu hidup dengan tenang? Aku liat dengan mata kepalaku sendiri kalau
dia sangat menderita setelah kejadian itu, Ki! Dia pasti merasa sangat bersalah
dan terpukul.”
“Cukup,”
potong Kiana. Namun, Zainab tidak mengindahkan ucapan sahabatnya kali ini.
“Sebagai
adik, harusnya kamu support, dong, bukan malah kayak gini. Bukan
aku gak ngerti posisi kamu, tapi seharusnya kamu sadar bahwa semua ini adalah
takdir dari Allah. Dan sampai saat ini kamu bilang kakakmu pembunuh? Istighfar,
Ki. Kecelakaan gak ada di kalender. Pernah gak ngebayangin kalau yang gak
sengaja menyebabkan kebakaran itu kamu?”
Saski
yang membisu sejak tadi pun ikut bicara. “Benar kata Zainab, Ki. Pasti orang
tuamu sedih liat kamu gini. Kakakmu rela gak jadi kuliah dan memilih kerja
banting tulang buat bertahan hidup, berusaha penuhin semua keperluan kamu dari
pagi sampai malam. Maaf, kali ini aku sama Zainab harus ngomong gini. Kita
sayang sama kamu, makanya kita nasihatin kamu.”
“Iyap.
Kamu harus ingat Kak Safira rela pergi kerja saat lagi sakit, ngerawat kamu
sebaik mungkin, berusaha penuhin wishlist kamu. Kak Safira juga sangat
ingat dengan hari ulang tahun kamu.”
Perempuan
berambut sebahu itu duduk di kursi, menunduk, dan termenung. Disusul dengan air
matanya yang berlomba-lomba untuk keluar. Zainab dan Saski merangkulnya dengan
penuh ketulusan. Kiana menangis sesegukan, mengingat semua apa yang telah
terjadi. Baru kali ini dia mendapatkan teguran yang mampu menyadarkannya.
Akhirnya Allah membuka hati dan pikirannya.
Kiana
menyeka air mata, menatap Zainab dan Saski secara bergantian, lantas berkata,
“Apa aku seburuk itu jadi adik?”
“Lupakan
itu. Mulai sakarang kamu bisa berubah jadi adik yang lebih baik, berdamai
dengan keadaan,” sahut Saski diikuti senyuman simpul. Zainab mengangguk,
setuju.
Gadis
itu mengembuskan napas kasar. “Aku gak tau bisa apa enggak. Hidup tanpa orang
tua itu ….”
“Tidak
mudah. Aku juga anak yatim piatu sama seperti kamu. Aku merasakan jadi kakak
dari seorang adik perempuan yang masih SD. Dan aku juga merasakan jadi adik
dari kakak perempuan yang menafkahi kami. Aku berusaha membantu kakakku
sebisaku, makanya kamu tau aku jualan di sekolah, Ki,” tutur Zainab dengan mata
yang sudah berkaca-kaca.
“Oke,
aku akan usahakan. Makasih, ya, kalian udah jadi teman baik buat aku. Aku
beruntung punya kalian. Besok aku akan temui Kak Safira.”
Mereka saling berpelukan. Suasana yang tadinya panas berubah menjadi sejuk, menenangkan urat-urat leher yang sempat tegang. Teman yang baik adalah dia yang mengajak kepada kebaikan. Hidup itu tentang siapa yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi. Begitu banyak orang yang terpengaruh pada keburukan karena teman-temannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Penulis : Wika Hermawati