Sumber: Aksara |
Garut, Aksara—STAIPI Garut adakan
Seminar Pemikiran dan Peradaban Islam yang bekerja sama dengan Universitas
Darussalam Gontor Ponorogo dalam Program Kaderisasi Ulama, Selasa (07/11/2023).
Seminar ini mengangkat dua tema
pembahasan utama, yaitu tentang studi Al-Qur’an dengan tema “Analisa Kritis
Variant Readings dalam Proyek Corpus Coranium” oleh Ajhar Yusup Maulana
dan “Problem Intertekstualitas sebagai metode Pengkajian Al-Qur’an” oleh Siti
Us Bandiyah.
Kemudian tentang Syariah dengan tema
“Batasan Ikhtilaf di dalam Fikih” oleh Muhammad Setyo Nugroho. Acara ini
dihadiri oleh para mahasiswa dan dosen yang bertempat di Auditorium STAIPI Garut,
Jalan Aruji Kartawinata, Tarogong Kidul, Garut.
Baca Juga: Wujudkan Legislator Muda Berkapabilitas: Senat Mahasiswa STAIPI Garut Adakan Kelas Legislatif
Melalui sambutannya, Dr. Tiar Anwar
Bachtiar, M. Hum., menyambut para mahasiswa PKU dengan hangat dan merasa bahagia
atas kehadiran mereka di kampus STAIPI Garut.
”Selamat datang kepada Mahasiswa PKU
(Proggram Kaderisasi Ulama) dan kepada pembimbingnya, kami merasa sangat senang
atas kehadiran Mahasiswa PKU ini ke STAI Persis Garut setelah sekian lama….” ujar
ketua Senat STAIPI Garut itu.
Syamsul Arifin, M. Ag., mengatakan
bahwa para pemateri adalah mereka yang sudah melakukan penelitian sebelumnya terhadap
tema yang diangkat.
“Kepada para mahasiswa dan mahasiswi
STAI Persis Garut, yang akan berdiri dihadapan kalian adalah teman sejawat bahkan
seumuran, yang baru lulus. Mereka akan mempresentasikan penelitiannya selama
3-4 bulan dan mempertanggungjawabkan penelitiannya…” ujar dosen pembimbing
mahasiswa PKU Universitas Darussalam Gontor itu.
Baca Juga: Perdana! LPPM STAIPI Garut Bedah Buku (Disertasi) Bertema "Problem Based Learning"
Baca Juga: Perdana! LPPM STAIPI Garut Bedah Buku (Disertasi) Bertema "Problem Based Learning"
Ajhar Yusuf menjelaskan penelitian mengenai
corpus Al-Qur’an. Qorpus merupakan penyajian data linguistik mencakup bahasa
atau istilah yang sering digunakan. Sehingga maknanya bisa dikaji secara
diakronik dan sinkronik, khususnya dalam Al-Qur’an.
Penelitian yang dilakukan Corpus
Coranicum menyimpulkan bahwa perbedaan varian bacaan Al-Qur’an terjadi pada
abad ke 8. Perbedaan varian bacaan itu berasal dari teks Al-Qur’an yang dulu
belum ada syakal dan titik.
Menurutnya itu merupakan kesimpulan
yang keliru, di mana pada kenyataanya, bahwa perbedaan bacaan ini sudah terjadi
pada zaman Nabi Muhammad SAW. dan nabi sendiri yang mengajarkannya.
Maka pertanyaannya ialah kalau
memang perbedaan varian bacaan ini terjadi pada abad ke 8 dan berasal dari
tidak adanya syakal dan titik pada teks Al-Qur’an maka apa yang diajarkan
dahulu oleh nabi.
Lebih lanjut, Siti Us Bandiyah menjelaskan,
bahwa intertekstualitas sebagai metode pengkajian Al-Quran itu sangat berbahaya.
Di mana dalam kajian
Intertekstualitas diambil titik kesamaan ajaran seperti Al-Quran dan Bible, kemudian
dalam kajian intertekstualitas kesamaan itu disatukan sehingga mencapai satu
kesimpulan.
Lebih lanjut lagi kesimpulan ini
berbahaya karena kajian metode intertekstual ini bisa dikatakan vandalisme, di mana
implikasi dalam kajian intertekstual ini bisa membuat kesimpulan yang berbeda
dari isi Al-Qur’an itu sendir.
Seperti Nabi Muhammad itu ummi,
dalam kajian intertekstual bisa berubah bahwa Nabi Muhammad itu menjadi tidak ummi
bahkan merupakan pengarang dari Al-Quran itu sendiri.
Tentunya kesimpulan ini tidak
disalahkan karena dalam kajian intertekstualitas menganut pemikiran The
Death of the Author.
Menurut pemikiran ini bahwa
seseorang bebas untuk menafsirkan hasil karya apapun itu khususnya dalam
tulisan karena si pembuat karya sudah tidak ada hak dalam karyanya sehingga
kebebasan berfikir, penafsiran dan kesimpulan penafsiran itu semua diserahkan
kepada pembaca.
Kemudian semua kesimpulan penafsiran
menjadi legal tidak ada unsur ketidakbolehan dan menyalahi. Menurut Siti, seorang akadmisi muslim
menyikapi hal ini yaitu harus kembali kepada tafsir Al-Qur’an yang semestinya.
Muhammad Setyo menjelaskan, bahwa
tidak bisa seseorang melakukan ijtihad sembarangan kemudian menghasilkan fatwa/ijtihad
(produk fiqih).
Ada batasan-batasan fikih yang perlu diketahui karena dalam fiqih pun ada ranah usulnya yang tidak bisa kita toleransi dan furuanya yang bisa kita toleransi di antaranya,
Harus dari orang yang memiliki kompetensi/keahlian orang yang melakukan fatwa/ijtihad, ijtihadnya tidak berbenturan dengan ijma ulama., ijtihadnya tidak berbenturan dengan teks wahyu yang bersifat qath’i (pasti), dan ijhtihadnya tidak dihasilkan dari kaidah-kaidah ijtihad yang dibuat-buat sendiri.
Maka dapat disimpulkan jika ada
seseorang yang melewati batasan ini maka boleh dikatakan fatwanya tidak boleh
diikuti meskipun fatwanya benar bahkan bisa disebut menyimpang.
Acara seminar ditutup dengan epilog
oleh Syamsul Arifin, pemberian cendramata kepada para pemateri, dan foto
bersama.
Jurnalis : Munji Nurrohman
Editor : ZMR