Baca dulu: NOVEL: "MEOW!" (Prolog)
Kedua
bola mata ini menjadi saksi paling siaga saat perlakuan bokap berbanding
terbalik dengan perlakuan bokap ke saudara-saudara gue. Gendang telinga gue
jadi yang paling peka saat tajamnya kata-kata terlontar hingga akhirnya menusuk
relung hati yang paling dalam.
"Yah,
hasil start up Andre akhirnya berhasil juga!" ucap Kak Andre setelah
perusahaannya sukses menjadi sorotan media dan beberapa perusahaan ternama.
"Darah
daging Ayah memang gak mengecewakan! Good job, Dre!" sambut bokap sambil
memeluknya bangga.
"Akhirnya,
Yaah ... Ana bisa raih gelar sarjana. Abis ini, Ana mau daftar program
pasca-sarjana!" kata Kak Ana berapi-api setelah menjadi bintang di fakultasnya.
"Mantap!
Kamu pasti bakal jadi dokter yang hebat, Na!"
"Ayah!
Lean dapet juara olimpiade Matematika!" Lean berlari dari pintu rumah
hingga ke ruang kerja ayah sambil membawa piala besar. Sialnya, ketika itu, ada
gue lagi minta uang jajan.
Bokap
yang sebelumnya fokus ngobrol sama gue, langsung tak memedulikan gue. Ia
sedikit berlari ke arah Lean dan memangkunya.
"Bangga
banget Ayah sama kamu!"
Baca Juga: NOVEL: I WILL MISS RAMADHAN
Sedangkan,
jika sebuah prestasi berkaitan sama gue. Semua itu rasanya hanya sia-sia. Hanya
menjadi kesenangan pribadi gue doang. Mereka gak ikut kecipratan kebahagiaan
yang gue rasain. Padahal, udah gue ciprat-cipratin tuh kebahagiaan, tapi
malah gak nular, ya? Mereka tetep gak ikut merasakan euphoria yang gue
bawa.
"Ayah,
Andra dapet juara satu melukis se-DKI!"
"Apa
sih yang harus dibanggain dari melukis?!" tanya ayah begitu sarkas saat
gue mendapatkan hadiah lomba untuk pertama kali. Hal itu cukup membuat gue
down. Gue sempet berhenti melukis berbulan-bulan gara-gara itu.
"Liat,
Yah. Baru kali ini, kan, Andra dapet ranking tiga! Seneng banget rasanya! Di
kelas delapan ini, nilai Andra bagus-bagus!"
"Ya
... itu karena kamu berhenti melukis. Tingkatkan lagi, Dra. Kamu harus jadi
ranking satu."
Mana selamatnya? Tidak ada. Tidak adil, bukan?
Read more: "MEOW!" Part 1: Moza