Ilustrasi gambar: Pinters.id |
Dewasa ini umat Islam dihadapkan pada tantangan internal dan eksternal kaum muslimin. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyebutkan, tantangan internal kaum muslimin adalah kekeliruan atas ilmu dan keruntuhan adab (loss of adab), sedangkan tantangan eksternal kaum muslimin berasal dari nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Barat .
Nilai-nilai tersebut adalah sekularisme dan liberalisme yang terkandung dalam ilmu pengetahuan dan memengaruhi segi pemikiran kaum muslimin. Salah satu hasil dari percumbuan antara sekulerisme dan liberalisme adalah pengadopsian paham feminisme atau kesetaraan gender dalam masyarakat yang harus diikuti secara Internasional, tak terkecuali Islam.
Padahal paham kesetaraan gender lahir dari peradaban Barat dengan kondisi sosio-historis yang belum tentu sama dengan kondisi perempuan di Timur, khususnya Islam. Bahkan gerakan feminisme ini sebetulnya adalah sebuah delusi yang menyebabkan seseorang memegang keyakinan yang tidak rasional dan tidak realistis. Karena konsep kesetaraan gender yang diusung oleh feminis (perempuan Barat) ini telah mengubah konsep terkait perempuan dan seksualitas.
Sayangnya, negara dan lembaga serta organisasi-organisasi tertentu di dunia justru mendukung gerakan-gerakan perempuan, walaupun gerakan ini secara dominan memiliki efek negatif bagi perempuan, khususnya gerakan mereka (baca: feminisme) karena mengecam perempuan untuk menjalani sesuatu yang berlawanan dengan insting mereka, yang menyebabkan penderitaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang berlanjut bahkan menjadi bom waktu bagi perempuan. Sebab, faham gerakan feminis ini adalah gerakan perspektif konsep kesetaraan gender yang dikampanyekan secara masif yang menempatkan perempuan sebagai makhluk individu, terlepas dari institusi keluarga.
Dan anehnya, para pemikir Muslim terpengaruh dan menimbulkan wacana baru dalam dunia Islam. Konsep-konsep Islam tentang peran dan hak wanita dipertanyakan dan dibongkar dengan dalih tidak sesuai konteks zaman dan tidak adil bagi wanita itu sendiri. Mereka menuduh Islam memberikan perhatian lebih kepada laki-laki dari pada perempuan dari segala lini kehidupan, padahal jika kita telusuri dan pahami dengan baik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda secara fitrah, namun sejatinya akan menjadi mulia dengan masing-masing tugasnya tanpa merasa terdiskriminasi.
Maka dari itu dalam perkembangannya, faham dan gerakan perempuan Barat perlu kita kaji secara mendalam sebab gerakan yang mengatasnamakan pembelaan terhadap perempuan justru malah menjadi gerakan yang membabi buta terhadap batas-batas kebebasan 'jadina kabablasan ueh'. Meningkatnya kejahatan seksual dan kampanye prilaku menyimpang, seperti LGBT, go-sex, aborsi, wanita berkebebasan, perempuan inferior, perempuan memimpin rumah tangga, perempuan menolak hamil, dll dijadikan sebagai gaya hidup, dengan berteduh dalam jargon kebebasan atau kemerdekaan seksual yang diperjuangkan kaum feminis.
Dari sini, maka siapapun yang mengaku beriman, Muslimah khususnya harus jeli dan sadar melihat isu-isu dan diskursus-diskursus yang marak di lapangan, baik lokal ataupun internasional, agar selalu bersikap kritis terhadap pandangan modernitas Barat yang dipaksakan “menabrak” fikih Islam tanpa ada rasa malu. Ini membuat perlunya dilakukan upaya advokasi dalam kebijakan yang terkait dengan keluarga, perempuan, dan anak karena mereka adalah target utama dari berbagai pemikiran yang menyimpang.
Karena sejatinya, gerakan kesetaraan gender (feminisme) ini adalah gerakan yang memperjuangkan kebebasan tanpa batas, khususnya batas nilai-nilai agama. Sehingga salah satu ranah yang mereka kritisi pun penguap pada analisis atau metodologi hukum-hukum dalam agama (Islam) yang sudah final untuk dijadikan sebagai sandaran mereka menegakkan gerakan yang mereka usung itu. Tak ayal kitab suci Al-Qur’an pun perlu di revisi dan di amandemen terkait penafsirannya.
Begitu banyak persoalan infiltrasi pemikiran Barat yang mesti ditelusuri, dikritisi dan diwaspadai oleh kaum muslimin dewasa ini. Infiltrasi ini bukan hal yang terjadi secara alami, tetapi lewat khittah dan misi Barat yang sering menjadi diskursus “panas” diera kini, tidak lain adalah karena fikih klasik Islam dianggap bertentangan dengan pandangan modernitas Barat.
Semua isu panas ini tidaklah bergulir kecuali karena tidak sesuai dengan modernitas Barat yang mengalami dekadensi moral dan pengikisan nilai-nilai agama dalam masyarakat. Pada pembahasan karya tulis ini penulis ingin mengkaji bahaya isme dan gerakan feminis yang dieksplorasi pada awalnya dengan tujuan awal (membela kaum perempuan dengan cara menyetarakan gender dan kedudukan) namun pada akhirnya mereka sadar bahwa dengan setara ternyata tidak membawanya pada kebahagiaan melainkan kerugian dan kebinasaan. Untuk itu karya tulis ini ingin memberi jalan terang dalam persoalan demikian. Supaya betul-betul kita (baca: kaum Muslimin) menanggapi infiltrasi pemikiran Barat yang senantiasa berubah-ubah, dan tidak dikatakan diam.
Karena wacana feminisme ini tidak pernah ada dalam sejarah Islam. Tapi, wacana ini tiba-tiba menjadi universal dan menjelma menjadi gerakan internasional bahkan ketika wacana kesetaraan gender disorotkan pada agama-agama semua agama seperti diam. Maka, sekali lagi penulis menegaskan, karya tulis sederhana ini ingin mengoposisi soal isme dan gerak feminis. Selamat membaca!
______________
- Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Sekularism, [Kuala Lumpur: ISTAQ, 1995] hlm. 134-137.
- Ghazi Abdullah Muttaqien, Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas Tentang Islamisasi Ilmu: Kajian Deskriptif. (Paper Mu'allimin 2018-2019 PPI 19 Garut).
- M. Hajir Mutawakkil, "Keadilan Islam dalam Persoalan Gender", Jurnal Kalimah, Vol. 12, No.1 Maret 2014. Hal. 69.
- Joko Kurniawan, "Feminisme Dalam Pandangan Islam; Analisis Gerakan Feminisme". Suara Mahasiswa. Artikel Kuliah Online Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Universitas Darusalam Gontor. Diakses pada Selasa, 07 Desember 2021, pada pukul 05.42 WIB.
Redaktur: Nur Aida Hasanah