Menjadi mahasiswa merupakan sebuah pilihan dan anugrah yang tak setiap orang yang diberikan kesempatan untuk dapat menyandang gelar sebagai “Mahasiswa”. Dikarenakan tidak ada orang yang mempunyai harta untuk dapat mendanai biaya kuliah, mengambil beasiswa sedangkan prestasi pun masih sangat pas-pasan, sudahlah belajar lebih baik nikah aja, hehe. Begitu mungkin Sebagian anggapan orang-orang terhadap pendidikan pasca SMA. Akan tetapi disamping mendapatkan gelar sebagai mahasiswa faktanya mahasiwa masih mendapatkan kutukan dari masyarakat, bahwasannya mahasiswa dikutuk menjadi orang yang “Intelek” dan mempunyai wawasan keilmuan yang lebih dari yang lainnya. Kutukan tersebut belum dicabut oleh masyarakat, oleh masyarakat yang masih menganggap mahasiswa sebagai sosok yang mempunyai intelektual diatas rata-rata. Oleh,
Oleh drama didalam civitas akademika ini mahasiwa dituntut untuk belajar dewasa dan lebih bijak didalam memanage kehidupannya. Dengan tugas yang menumpuk dan kejar tenggat waktu yang menunggu, mahasiswa dituntut untuk dapat bertanggung jawab akan menjadi tugas utama sebagai mahsiswa, yakni mengisi otak dengan ilmu dan wawasan. Disamping itu, mahsiswa pun dituntut untuk aktif didalam sebuah organisasi. Disini mahasiwa lompatan untuk dapat berdialektika, mengirganisisr suatu keadaan, bertanggung jawab atas sebuah tugas yang diemban serta tentunya disini juga bagaimana cara membangun hubungan yang baik dengan orang-orang yang ada di organ internal maupun yang berada di eksternal organ tersebut. Sehingga mahasiswa lulus dan berkecimpung di masyarakat maka mahasiwa akan dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi dewasa ini dapat kita lihat deintegrasi didalam diri mahasiwa. Dimana banyak sekali mahasiwa yang tergerus tujuan dan perannya sebagai agen perubahan. Hilang dan minimnya budaya literasi di kelas mahasiwa sekarang, penyebab turunnya pula daya kritis dari mahasiwa. Terlebih dari itu mahasiswa sekarang seolah-olah anti terhadap diskusi dan pandangan pandangan dalam pikiran, sehingga lebih mudah tersinggung dan emosional dibandingkan mesti berpikir secara rasional dan masuk akal. Apalagi, dengan hadirnya game-game online penyebab mahasiswa banyak yang terlena dan banyak yang lebih mengutamakan game utama dibandingkan untuk belajar dan berdiskusi. Naasnya, mahsiswa yang di cap sebagai agen of change malah menjadi agen yang lebih mudah terprovokasi dan lebih mudah digerakan tanpa pemikiran yang murni dari dirinya. Naas.
Peran kritis mahasiswa tergerus sedikit demi sedikit perkembangan zaman dan terlalaikan oleh keadaan. Lantas tugas sebagai agen perubahan ini dimana ?? Apabila pelaksanaan dan cara mengembangkan intelektualitas tidak dibangun dari sejak ini, bahkan tidak dibangun dari semenjak tingkat awal masuk perkuliahan. Jikalau ada yang menanyakan, jadi mahasiswa itu lelah dan cape ka. Yaa, kita jawab bahwasannnya menjadi mahasiswa memang cape dan melelahkan, ditambah dengan tumpukan tugan dan tanggung jawab yang mesti diemban dan hasil. Ya, kita telah mengikrarkan dan meridhakan sejak dari awal untuk menjadi bagian dari orang-orang yang dikutuk oleh masyarakat dengan “Intelektualisme” nya, ingin ga ingin cape dan lelah, yaa jangan jadi mahasiswa. Jadi gaming aja simple kan? Jadi mahasiswa ko manja? Jadi mahasiswa ko lemah?
Peran kita saat menjadi mahasiswa, akan sangat berpengaruh untuk peran kita di lingkup yang lebih luas. Baik itu didalam pekerjaan, dunia pendidikan, dunia kemasyarakatan dan lain sebagainnya itu semua terbentuk dan terbina dari kita masuk ke dunia perkuliahan. Jika di dunia perkuliahan dan kita yang menyandangkan diri sebagai mahasiswa yang paling tua, maka apa yang dapat kita harapkan untuk menjadi orang setelah kita lulus sebagai sarjana? Ga akan ada orang yang mau lihat kita, toh lihat catatan perdagangannya aja kita udah buruk, lantas apa yang dapat dibanggakan dari diri kita untuk orang lain yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain atau mungkin kepada diri sendiri lah lebih khususnya. Jadi, menjadi mahsiswa bukan ajang bermalas-malasan dan bersantai ria. Banyak sekali tanggung jawab yang akan diemban setelah seorang mahasiswa lulus dari strata pendidikan kampusnya. Hal itu niscaya akan terjadi, namun keberlangsungan sebagai mahasiswa pun kita sudah lemah, tidak mau belajar, menjauhi literasi, menjauhi ruang diskusi, menjauhi organisasi lantas apa yang dapat kita buktikan kepada orang lain bahwa sanya kita ini adalah Agen Of Change (Agen sebuah perubahan) , apakah hal itu dapat terjadi?
Teringat satu pesan yang disampaikan oleh salah satu dosen saya ketika belajar di kampus, bahwasannya menyatakan dalam logat sundanya “Percuma meunang ijazah oge ari teu aya eusian dinu diri na mah. Mang lebarkeun hungkul sok teu barokah jeung teu manfaat ijazahna ”yang artinya“ Percuma mendapatkan ijazah juga kalo tidak ada isi (Ilmu) di dalamnya. Sangat menyayangkan, khawatir tidak berkah dan tidak bermanfaat ijazahnya ”. Mungkin ada salah satu ungkapan dari masyarakat “Udah jadi sarjana, ko masih nganggur ??”. Tentu, hal ini akan menjadi beban moral bagi kita. Dikarenakan ekspektasi masyarakat akan mahasiswa dan sarjana itu sangat tinggi, akan tetapi karena kelalaian dan kemalasan kita untuk belajar mengembangkan potensi dalam diri, serta memperluas relasi ketika masih di dalam bangku perkuliahan,
Terbentuknya para mahasiswa dan lahirnya para sarjana bukan untuk menambah pengangguran dan menjadi beban bagi bangsa dan negara. Justru, gerak aktif dan pemikiran yang solutif mestinya mampu menjadikan mahasiswa sebagai orang yang dapat memberikan ruang-ruang pekerjaan bagi orang yang tak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Juga, dengan tingkat intelektualitasnnya yang tinggi pula, semestinya mahasiswa mampu untuk dapat menjadi pelopor-pelopor pergerakan di daerahnya masing-masing. Sehingga justifikasi terhadap mahasiswa yang sebagian orang menilai miring bahawasnnya mahasiswa dan sarjana menyumbangkan pengangguran terbanyak dari skala golongan yang ada. Kita mesti dapat membungkam hal tersebut dengan ide, gagasan dan prestasi yang kita miliki.
Ayo kawan, perjuangan kita baru akan dimulai, jangan sampai kita terlena oleh keadaan yang nyaman sehingga waktu menggerus kesempatan kita untuk berkembang dan berpartisipasi. Ingat kawan, empati tahun waktu yang lama, hal tersebut sangatlah penting. Seharusnya kita dapat memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri diri sendiri dengan melaporkan literasi, menilai jaringan dan relasi, memberikan kamampuan kita untuk terbiasa dalam memecahkan suatu permasalahan. Meningkatkan soft skill dan kemampuan yang baru dari kita latih sedari dini, mumpung kita masih diberikan waktu. Juga kawan, hilangkan stigma bahwasnnya kita kuliah untuk mendapatkan kerja. Tapi tumbuhkan dalam benak kita, bahwa kita kuliah untuk mendapatkan pengetahuan, yang dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki kita dapat membuka lapangan pekerjaan dan bermanfaat bagi orang banyak.