Oleh: Tuan Andanu
Dicatat di Kantin Rumah sakit SMC, Kab. Tasikmalaya.
Rabu, 08 April 2020.
Aku menganggap suaramu yang dulu itu, yang sehingga bila sudah menenteng megaphone merah, maka jalanan gegar. Telinga orang-orang digedor. Menggetarkan. Sisanya menggemparkan. Kau akan terus berteriak: Rakyat! Rakyat! Rakyat!
Semua ada paragrafnya. Menumbu satu dengan lainnya. Paragraf rumusan, paragraf iklan, paragraf jalanan, paragraf diplomasi, dan (bila perlu) paragraf anarki. Ban mobil yang biasanya dibakar, membumbungkan asap. Polisi datang. Kecamuk chaos tidak dapat dielakkan. Ia diundang. Saling jambak saling hantam. Media menyorot dari sudut kepentingan: Rakyat! Rakyat! Rakyat!
Ban karet mobil dibakar, asap membumbung, perlambang ada kemacetan. Harus ada yang dibereskan. Bila perlu, dibumi hanguskan. Muncul perlawanan aparat; pertanda bahwa demi rakyat akan berhadapan dengan pelindung rakyat. Rakyat! Rakyat! Rakyat!
Melongo. Di rumah kumuh. Di kolong jembatan. Di pinggiran-pinggiran. Rakyat sembunyi melindungi diri. Aparat datang. Demonstran bergerak. Rakyat! Rakyat! Rakyat!
Suara-suara yang mulutnya besar. Tangan-tangan besi yang suaranya dibungkam. Beradu helat di jalanan. Memperjuangkan hak rakyat yang membingungkan. Yang satu kesejahteraan, yang satu lagi aturan. Kesejahteraan rakyat tidak berpayung sempurna dengan aturan. Pemegang aturan memang agak sejahtera, tetapi sulit menemukan aturan yang menyejahterakan. Maka demostrasi terjadi.
Pahlawan. Menjamur kini orang dengan mulut besar-besar tetapi telinga makin mengecil. Orang pandai menyuarakan rakyat tetapi langlang mendengarkan (nurani) rakyat.
Demi rakyat!
Yang suaranya kita langka sengaja mendengarkan, meresapi, menghayati. Aturan! Itu biangnya. Kesejahteraan kita diatur-atur. Kesejahteraan rakyat maksudnya, diatur-atur wakilnya, diatur-atur pemimpinnya. Jadi, sebetulnya lebih mirip aturan wakilnya rakyat dan aturan pemimpinnya rakyat. ;-)
Lebih memilih demokrasi atau prospherity? Kebebasan atau kesejahteraan? Cina memilih yang kedua, dan kita memilih yang pertama dengan persemogaan poin kedua dapat diraih juga. Teramat idealis and perfeksionis. Kadang, heran. Tapi, keren juga sih.
Kenyataannya, kebebasan belum sepenuhnya mewujud. Kesejahteraan, masih baru dan baru lagi digulirkan aturannya. Bebas harus di atur. Kesejahteraan, lebih ketat aturannya. Kita, selaku rakyat, ikhlas-ikhlas saja diatur wakil-wakil dan pemimpin-pemimpin. Sebab, kita telah memilih poin demokrasi, biar sejahtera baru menjadi kampanye basa-basi.
Ada anggapan yang kadang menjadi opini pribadi. Tentang bangsa yang sulit dimengerti, dan Negara yang sulit pengertian. Umpamanya, begitu tidak sulit untuk sepakat bahwa selama ini kita cenderung mau mengiyakan Amerika sebagai Negara dengan almet kapitalis. Tetapi demokrasi negara kita yang mengusung rakyat oriented, pola berdemokrasinya mengikut gaya Amerika dengan trias politikanya, misalkan, atau gaya demokrasi ideologinya yang sungguh kebarat-baratan, misal lainnya. Sementara di sudut yang lain, kita kian merasa aneh ialah soal kedekatan elit negara dengan bangsa Cina. Kerjasama dan partnerithy berjalan baik, tapi kesejahteraannya tidak turut surut di negara kita. Elit politik memang sejahtera, tetapi rakyat kita ingin bebas (bukan hanya terus merdeka) tetapi juga sejahtera.
Demi rakyat! Pasti ada yang salah di sana. Salahnya rakyat dalam memilih pemimpin seperti pemimpin yang salah memahami rakyatnya.
Sesungguhnya kita tidak benar-benar membutuhkan rakyat jika bukan sebaliknya: Negara yang sungguh-sungguh memang membutuhkan rakyat. Sebabnya demokrasi, maka di momentum pesta demokrasi, daulat rakyat menjadi yang tertinggi sekali. Sekali. Hanya sekali.
Sesekali, kita belajar menjawab suatu soal yang gampang seperti lebih memilih mana, antara Negeri atau demokrasi? Kesejahteraan atau aturan? Keseringan diatur, kesejahteraan menjadi profan, tidak lagi relatif. Sementara sifat dan hajat kesejahteraan manusia mengalami relativitas yang tinggi.
Hal terdekat diantaranya tentang pencegahan Covid-19, yang di Jakarta konon katanya adu gengsi politik. Atau yang di bawah dengan tingkat keseriusan yang ambigu, rakyat kebingunan sebingung pemerintah mengatur regulasi aturannya. Maka, rakyat diminta udunan, sembari menunggu peraturan yang mewakili nuraninya.
Demi rakyat! Pasti ada yang salah di sana. Yang di sana berteriak demi rakyat, tapi rakyatnya gak ada di sana. Rakyatnya ada di sini. Di sini, sayang, bukan di sana.
Memang benar petuah Tuan Andanu, dulu sekali, saat masih mesantren di kobong sederhana Ciawi.
"Untuk bersuara atas nama rakyat, kita perlu keahlian mendengar yang baik. Caranya bukan dengan (semata) megaphone atau duduk di kursi bergengsi birokrasi. Sederhana sekali. Untuk seperti kehendak rakyat, kita perlu belajar merakyat sepanjang hayat. Apapun ruang juang kita selagi hidup, hidupkanlah rakyat di hati. Selamanya. Kapan pun, dimana pun."
Memang demikian baiknya. Agar rakyat tidak dikambing hitamkan, dan birokrat tidak bergaya kambing putih.
"Kita perlu sosok Negarawan yang berbenteng di hati ummat." Pesan sang Mositor NKRI, Allahu yarham bapak Mohamad Natsir.
Jadi, ya begitulah. Rakyat punya bentengnya sendiri. Maka siapa pun, jangan lagi menerus membangun benteng-benteng baru lain yang kian menjurangkan jarak dan situasi. Apalagi benteng yang bukan milik rakyat kita, tetapi benteng negara luar. Wah, wah, janganlah.
Bagaimana pun, karena Corona datangnya dari Cina, dan negara kita enggan berjauhan dengan Negara ginseng itu, ditambah aturan ke-WNI an yang diperlonggarkan dari hari ke harinya, maka sebaiknya kita anggap Corona sebagai sahabat di negara ramah kita: Nusantara. Sudah cukup lama kita kalah skil dan kompetensi dengan bangsa Cina, di kandang sendiri. Masa dengan ganster Coronanya pun kita jatuh ketiban tangga pula.
Atau kalau mau dianggap musuh, rawat rakyat kita agar kuat fisiknya, psikisnya dan kesejahteraan ekonominya. Nantinya, Insyaallah bukan hanya Corona yang dapat ditaklukan rakyat, bahkan habitat asal kelahirannya.
Duh lupa. Aturannya belum surut ke akar rumput. 😉
Cukup sekian dulu. Saya sedang rindu rakyat yang bersuara, ketimbang suara-suara atas nama rakyat yang pesta pora, banyaknya hura-hura, paling banyaknya pura-pura.
🌹☕🌹
Tags
Sastra
Negri gingseng biasanya sebutan untuk Korea.
BalasHapus