Oleh: Fajar Shiddiq
Persatuan Islam (Selanjutnya ditulis Persis) merupakan salah satu organisasi Islam yang berusia 20 tahun lebih tua dari Republik Indonesia.
Pada mulanya, Persis hanya sebatas kelompok diskusi (Study Club) yang concern mengkaji persualan yang berkaitan dengan tema-tema pembahasan agama. Perkumpulan dan diskusi yang hanya dihadiri oleh beberapa tokoh saja, seperti KH. Zamzam dan Muhammad Yunus akhirnya menjadi popular dan resmi berdiri pada 12 September 1923 menjadi salah satu organisasi pembaruan sekaligus sebagai lokomotif faksi modernis di awal abad 20.
Konsentrasi gerakan Persis dalam bidang sosial-keagamaan, mampu mengantarkannya menjadi satu organisasi yang memiliki peran penting dalam dinamika percaturan keagamaan di Indonesia pada awal abad 20. Sebagaimana hal ini diungkap oleh Howard M. Federspiel dalam reasech Desertasinya mengenai gerakan Persatuan Islam dengan judul Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentienth Century Indonesia. Ia menyatakan. “Persatuan Islam mencurahkan perhatiannya terutama pada promosi Islam puritan, dan, sebagaimana diketahui, menjalankan banyak aktivitas—penerbitan, debat publik, aksi politik, tablig, dan pendidikan—untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pada masa kegemilangannya, yakni pada tahun 1920-an, 1930- an, 1950-an Persatuan Islam merupakan perhimpunan yang ideologis dan sangat kontroversial.” (Federspiel, Labirin Ideologi, hlm. 9)
Akan tetapi, dalam perspektif Federspiel, kegemilangan Persis di masa awal abad 20 sampai sekitar tahun 50-an hanya fokus dalam urusan-uruan keagamaan an sich, tidak terlibat dalam urusan-urusan sosial ataupun politik seperti organisasi lainnya. Sebagaimana ia menyatakan, “Arti penting Persatuan Islam sebagai topik penelitian ilmiah tidak terletak pada organisasinya, karena ia merupakan organisasi yang kecil dan berstruktur longgar, maupun pada partisipasinya dalam kehidupan politik Indonesia karena aktivitasnya bersifat insidental dan periferal bagi mainstream perkembangan-perkembangan politik yang ada. Meskipun peranannya dalam pendidikan agama memiliki pengaruh tertentu bagi kaum muslim Indonesia, Persatuan Islam tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan beberapa organisasi lainnya.” (Federspiel, Labirin Ideologi, hlm. 9)
Dugaan Federspiel di atas sejatinya tidak untuk diterima sepenuhnya, sebab tokoh-tokoh Persis di empat dasawarsa pertama abad 20 justru memiliki peran yang sangat penting dalam memainkan wacana pendirian negara tanpa Belanda, misalnya A. Hassan, M. Natsir, Sabirin, dan Fakhruddin al-Kahiri. Meskipun mungkin dugaan Federspiel itu hanya melihat Persis secara kelembagaan bukan pada aktivitas dan pemikiran politik para elit Persis-nya. (Lihat Tiar Anwar & Pepen Irfan, Persis dan Politik, hlm. 5)
Maka dalam tulisan singkat ini, perlu kiranya menyorot aktivisme politik Persis sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia, agar tidak muncul stigma; Persis merupakan organisasi yang abai terhadap urusan kenegaraan dan hanya mengurusi urusan-urusan tahayul, bid’ah, dan khurafat saja.
Aktivitas Politik Elit Persis Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Meskipun Persis secara organisasi tidak memiliki concern gerakan pada wilayah sosial dan politik, bukan berarti para elit Persis ataupun anggotanya apriori pada urusan keumatan dalam konteks kenegaraan. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa elit Persis pada masa Revolusi Indonesia sangat berjasa dan berperan aktif dalam wacana pembentukan negara Indonesia.
Pada masa sebelum kemerdekaan, keterlibatan elit Persis dalam percaturan politik setidaknya dalam dua model: Pertama, ikut-serta, mendukung dan bergabung bersama partai politik Islam, seperti PSII dan PII. Sebagaimana disampaikan oleh Deliar Noer: Persis memang turut berkecimpung dalam dunia politik, bisa diindikasikan dari anggota-anggotanya yang banyak berpartisipasi dalam partai politik sejak tahun 1930-an. Elite Persis banyak yang merangkap jabatan dengan Syarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang berhaluan politik. Ketika terjadi pertentangan dengan SI dan dikeluarkan dari organisasi itu, elite Persis pun tidak berhenti aktif dalam politik. Mereka mendukung partai politik baru, yakni Partai Islam Indonesia (PII). Bahkan, PII cabang Bandung, dan umumnya di wilayah Jawa Barat, dikuasai elite Persis. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 177).
Kedua, elit Persis mengejawantahkan pemikiran-pemikiran politiknya melalui tulisan-tulisan dalam media cetak, seperti majalah Pembela Islam. Bahkan tulisan-tulisan politik A. Hassan dan M. Natsir merupakan respon daripada ide nasionalisme-sekular yang hendak dibangun oleh Soekarno pada waktu.
Adapun motif yang mendorong elit Persis dan anggotanya berperan aktif dalam kancah politik pada awal abad 20, setidaknya karena dua faktor: pertama, timbulnya ancaman eksternal saat itu, yaitu ancaman politik kristenisasi yang dilancarkan oleh para zending kristen yang didukung pemerintah kolonial Belanda. Kedua, bangkitnya kalangan nasionalis sekular yang dipelopori PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno. (Lihat Tiar Anwar & Pepen Irfan, Persis dan Politik, hlm. 31-33)
Aktivitas Politik Elit Persis Awal Kemerdekaan Indonesia
Keikut-sertaan elit-elit Persis dalam percaturan politik pada masa revolusi atau masa sebelum kemerdekaan adalah satu bukti bahwa Persis memiliki pemikiran pentingnya politik untuk menegakan ajaran Islam. Ikut sertanya elit Persis dalam kancah politik tidak berakhir sampai Indonesia merdeka saja, justru pasca kemerdekaan, elit-elit Persis boleh dikatakan sebagai aktor penting dalam pertarungan politik pada masa itu. Adapun di antara aktivisme dan pemikiran politik elit Persis awal kemerdekaan adalah sebagai berikut:
Pertama, memasuki fase awal kemerdekaan, keterlibatan Persis dalam urusan kenegaraan justru semakin penting. Hal demikian dibuktikan dengan bergabungnya, bahkan menjadi anggota istimewa salah satu partai Islam bernama Masyumi pada tahun 1948. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 5)
Kedua, selain menjadi anggota Istimewa pada partai Masyumi, aktivitas elit Persis awal kemerdekaan terlihat semakin formal, bukan lagi hanya sebatas menyumbangkan gagasan dalam tulisan melainkan terjun langsung. Misalnya Pak Natsir merupakan salah satu elit Persis yang menjadi perdana mentri pertama Indonesia juga berkali menjadi mentri penerangan Indonesia. Bahkan peran politik Pak Natsir yang paling berjasa untuk negara Indonesia adalah Mosi Integral-nya yang mampu menyatukan Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Itulah sekilas peran dan keterlibatan Persis dalam percaturan politik Indonesia –kendati bukan secara formal kelembagaan- pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia sampai awal kemerdekaan. Dapat dipahami betapa berperannya para elit Persis dalam wacana membangun negara Republik Indonesia, mereka tidak hanya menyumbangkan gagasan politis saja, melainkan juga aktif menjadi politisi dalam partai-partai Islam pada waktu itu. Kiprah politik tersebut tentu menjadi pelajaran bagi generasi Persis masa kini agar jangan pernah abai dalam urusan politik apalagi sampai menjadi kelompok yang anti politik. Karena toh pada nyatanya, politik juga adalah bagian ajaran Islam yang harus diperjuangkan. Wallāhu A’lam biṣ-Ṣawab
Persatuan Islam (Selanjutnya ditulis Persis) merupakan salah satu organisasi Islam yang berusia 20 tahun lebih tua dari Republik Indonesia.
Pada mulanya, Persis hanya sebatas kelompok diskusi (Study Club) yang concern mengkaji persualan yang berkaitan dengan tema-tema pembahasan agama. Perkumpulan dan diskusi yang hanya dihadiri oleh beberapa tokoh saja, seperti KH. Zamzam dan Muhammad Yunus akhirnya menjadi popular dan resmi berdiri pada 12 September 1923 menjadi salah satu organisasi pembaruan sekaligus sebagai lokomotif faksi modernis di awal abad 20.
Konsentrasi gerakan Persis dalam bidang sosial-keagamaan, mampu mengantarkannya menjadi satu organisasi yang memiliki peran penting dalam dinamika percaturan keagamaan di Indonesia pada awal abad 20. Sebagaimana hal ini diungkap oleh Howard M. Federspiel dalam reasech Desertasinya mengenai gerakan Persatuan Islam dengan judul Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentienth Century Indonesia. Ia menyatakan. “Persatuan Islam mencurahkan perhatiannya terutama pada promosi Islam puritan, dan, sebagaimana diketahui, menjalankan banyak aktivitas—penerbitan, debat publik, aksi politik, tablig, dan pendidikan—untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pada masa kegemilangannya, yakni pada tahun 1920-an, 1930- an, 1950-an Persatuan Islam merupakan perhimpunan yang ideologis dan sangat kontroversial.” (Federspiel, Labirin Ideologi, hlm. 9)
Akan tetapi, dalam perspektif Federspiel, kegemilangan Persis di masa awal abad 20 sampai sekitar tahun 50-an hanya fokus dalam urusan-uruan keagamaan an sich, tidak terlibat dalam urusan-urusan sosial ataupun politik seperti organisasi lainnya. Sebagaimana ia menyatakan, “Arti penting Persatuan Islam sebagai topik penelitian ilmiah tidak terletak pada organisasinya, karena ia merupakan organisasi yang kecil dan berstruktur longgar, maupun pada partisipasinya dalam kehidupan politik Indonesia karena aktivitasnya bersifat insidental dan periferal bagi mainstream perkembangan-perkembangan politik yang ada. Meskipun peranannya dalam pendidikan agama memiliki pengaruh tertentu bagi kaum muslim Indonesia, Persatuan Islam tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan beberapa organisasi lainnya.” (Federspiel, Labirin Ideologi, hlm. 9)
Dugaan Federspiel di atas sejatinya tidak untuk diterima sepenuhnya, sebab tokoh-tokoh Persis di empat dasawarsa pertama abad 20 justru memiliki peran yang sangat penting dalam memainkan wacana pendirian negara tanpa Belanda, misalnya A. Hassan, M. Natsir, Sabirin, dan Fakhruddin al-Kahiri. Meskipun mungkin dugaan Federspiel itu hanya melihat Persis secara kelembagaan bukan pada aktivitas dan pemikiran politik para elit Persis-nya. (Lihat Tiar Anwar & Pepen Irfan, Persis dan Politik, hlm. 5)
Maka dalam tulisan singkat ini, perlu kiranya menyorot aktivisme politik Persis sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia, agar tidak muncul stigma; Persis merupakan organisasi yang abai terhadap urusan kenegaraan dan hanya mengurusi urusan-urusan tahayul, bid’ah, dan khurafat saja.
Aktivitas Politik Elit Persis Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Meskipun Persis secara organisasi tidak memiliki concern gerakan pada wilayah sosial dan politik, bukan berarti para elit Persis ataupun anggotanya apriori pada urusan keumatan dalam konteks kenegaraan. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa elit Persis pada masa Revolusi Indonesia sangat berjasa dan berperan aktif dalam wacana pembentukan negara Indonesia.
Pada masa sebelum kemerdekaan, keterlibatan elit Persis dalam percaturan politik setidaknya dalam dua model: Pertama, ikut-serta, mendukung dan bergabung bersama partai politik Islam, seperti PSII dan PII. Sebagaimana disampaikan oleh Deliar Noer: Persis memang turut berkecimpung dalam dunia politik, bisa diindikasikan dari anggota-anggotanya yang banyak berpartisipasi dalam partai politik sejak tahun 1930-an. Elite Persis banyak yang merangkap jabatan dengan Syarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang berhaluan politik. Ketika terjadi pertentangan dengan SI dan dikeluarkan dari organisasi itu, elite Persis pun tidak berhenti aktif dalam politik. Mereka mendukung partai politik baru, yakni Partai Islam Indonesia (PII). Bahkan, PII cabang Bandung, dan umumnya di wilayah Jawa Barat, dikuasai elite Persis. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 177).
Kedua, elit Persis mengejawantahkan pemikiran-pemikiran politiknya melalui tulisan-tulisan dalam media cetak, seperti majalah Pembela Islam. Bahkan tulisan-tulisan politik A. Hassan dan M. Natsir merupakan respon daripada ide nasionalisme-sekular yang hendak dibangun oleh Soekarno pada waktu.
Adapun motif yang mendorong elit Persis dan anggotanya berperan aktif dalam kancah politik pada awal abad 20, setidaknya karena dua faktor: pertama, timbulnya ancaman eksternal saat itu, yaitu ancaman politik kristenisasi yang dilancarkan oleh para zending kristen yang didukung pemerintah kolonial Belanda. Kedua, bangkitnya kalangan nasionalis sekular yang dipelopori PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno. (Lihat Tiar Anwar & Pepen Irfan, Persis dan Politik, hlm. 31-33)
Aktivitas Politik Elit Persis Awal Kemerdekaan Indonesia
Keikut-sertaan elit-elit Persis dalam percaturan politik pada masa revolusi atau masa sebelum kemerdekaan adalah satu bukti bahwa Persis memiliki pemikiran pentingnya politik untuk menegakan ajaran Islam. Ikut sertanya elit Persis dalam kancah politik tidak berakhir sampai Indonesia merdeka saja, justru pasca kemerdekaan, elit-elit Persis boleh dikatakan sebagai aktor penting dalam pertarungan politik pada masa itu. Adapun di antara aktivisme dan pemikiran politik elit Persis awal kemerdekaan adalah sebagai berikut:
Pertama, memasuki fase awal kemerdekaan, keterlibatan Persis dalam urusan kenegaraan justru semakin penting. Hal demikian dibuktikan dengan bergabungnya, bahkan menjadi anggota istimewa salah satu partai Islam bernama Masyumi pada tahun 1948. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 5)
Kedua, selain menjadi anggota Istimewa pada partai Masyumi, aktivitas elit Persis awal kemerdekaan terlihat semakin formal, bukan lagi hanya sebatas menyumbangkan gagasan dalam tulisan melainkan terjun langsung. Misalnya Pak Natsir merupakan salah satu elit Persis yang menjadi perdana mentri pertama Indonesia juga berkali menjadi mentri penerangan Indonesia. Bahkan peran politik Pak Natsir yang paling berjasa untuk negara Indonesia adalah Mosi Integral-nya yang mampu menyatukan Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Itulah sekilas peran dan keterlibatan Persis dalam percaturan politik Indonesia –kendati bukan secara formal kelembagaan- pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia sampai awal kemerdekaan. Dapat dipahami betapa berperannya para elit Persis dalam wacana membangun negara Republik Indonesia, mereka tidak hanya menyumbangkan gagasan politis saja, melainkan juga aktif menjadi politisi dalam partai-partai Islam pada waktu itu. Kiprah politik tersebut tentu menjadi pelajaran bagi generasi Persis masa kini agar jangan pernah abai dalam urusan politik apalagi sampai menjadi kelompok yang anti politik. Karena toh pada nyatanya, politik juga adalah bagian ajaran Islam yang harus diperjuangkan. Wallāhu A’lam biṣ-Ṣawab
Tags
Artikel