Proses kaderisasi dalam konteks dakwah Jam’iyyah atau dalam sebuah organisasi merupakan satu hal yang sangat fundamental, urgen, dan prinsipiel. Saking pentingnya proses kaderisasi, sampai dijadikan sebuah alat-ukur keberhasilan suatu organisasi.
Misalnya, dalam salah satu pernyataan disebutkan: “Keberhasilan satu organisasi dapat diukur dari kesuksesan dalam proses kaderisasi.” Oleh karenanya, jika para aktivis dakwah dan atau pemimpin sebuah organisasi melupakan proses kaderisasi atau bahkan memutuskan proses kaderisasi, seolah mereka sudah memutuskan generasi sewaktu itu juga. Sebagaimana Alm. Nashrullah Qorib mengatakan “Seorang kader yang tidak mampu mengkader adalah pemutus generasi.”
Maka dari itu, kaderisasi merupakan poin penting dari sebuah organisasi, bukan hanya sebatas program kerja yang bisa berlanjut atau tergantung pada situasi dan anggaran. Lebih jauh dari itu, kaderisasi merupakan jantungnya sebuah organisasi/Jam’iyyah yang bisa menentukan detaknya akan berlanjut atau berhenti; eksistensinya akan tetap mewujud atau tinggal kepingan sejarah; ideologinya akan tetap bertahan atau ditelan zaman yang silih berganti. Sehingga para pemimpin sebuah organisasi jangan sesekali melupakan proses kaderisasi dan pembinaan kepada umatnya walau hanya dengan say hallo. Karena perlu dicatatat, tidak semua jama’ah atau kader memiliki mental petarung di gelanggang perjuangan; boleh jadi dari mereka ada yang manja sehingga perlu perhatian; ada yang bingung konsep arah gerakan sehingga mereka perlu pembinaan; dan ada yang pemalu sehingga mereka perlu dipaksa untuk tampil.
Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak boleh pesimis dengan rupa-rupa karakter kader, apalagi membunuh cita-citanya dengan umpatan dan kata-kata membunuh karakter. Sebagaimana moyang kita, bapak Muhammad Natsir memberi satu wejangan penting yang perlu direnungkan oleh setiap pemimpin Jam’iyyah: pemimpin itu, bukanlah membunuh cita-cita yang akan tumbuh, tetapi memupuk dan membesarkan tunas yang akan menjelma supaya ia lekas dapat menyambung generasi yang telah tua.
Dengan demikian, tulisan sederhana ini, hendak mengurai satu fenomena lapangan Jam’iyyah Persis di Magetan Jawa Timur tempat kami menjalankan amanah program Kafilah Du’at PP. Persis. Bahkan bukan hanya to Magetan saja, melainkan hasil Sharing dengan Du’at yang berada di tempat lain di berbagai daerah. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi renungan bagi semua elemen Jam’iyyah Persis dan Otonom, kendati para ikhwah merasa sudah maksimal dalam berjuang di Jama’ah masing-masing (dalam scope sunda atau Jabar), tetapi apa salahnya berkelana dengan pengalaman yang tak seberapa ini, agar mendapat gambaran dan peta gerakan baru untuk terus menasionalkan Persis secara nyata bukan sebatas klaim semata.
Persis di Magetan; dari Sini Kita Mesti Belajar
Sebagai orang asing di Magetan –tepatnya Kp. Tawang- dengan membawa dua amanah misi dakwah, yaitu menebar risalah Qur’an-Sunnah ditengah masyarakat yang masih kental dengan adat jawanya dan misi Jam’iyyah untuk mengorganisir Jama’ah yang dalam kacamata PP. Persis sedang konflik internal. Maka kami tertentut untuk tidak grasa-grusu, tetap menjaga etika sebagai orang baru dan terutama menjaga marwah Jam’iyyah Persis. Maka agenda pertama yang kami lakukan adalah Ta’aruf, dalam arti tidak hanya memperkenalkan diri menanyakan Asmani sinten (siapa namanya?). Tetapi, proses adaptasi menganalisis lapangan, kondisi social-cultural masyarakat, heterogenitas organisasi dan bahkan agama. Hal ini merupakan bagian penting untuk mensukseskan dua misi yang kami bawa. Sebagaimana dalam teori fenomenal perang Sun Tzu (The Art of War) disebutkan: Kenali dirimu, kenali musuhmu, dan kenali medan tempurmu. Maka kau akan memenangi seribu pertempuran.
Dua bulan berlalu, selain menjalankan rutinitas kegiatan, kami memaksimalkan untuk menyelesaikan proses Ta’aruf agar dua misi yang ditargetkan mendapat gambaran yang jelas dan strategi seperti apa yang mesti dilakukan. Terkait misi dakwah Qur’an-Sunnah, sampai saat ini kami bisa berjalan lancar tanpa ada rintangan, kendati masyarakat terkadang menanyakan hukum-hukum seputar adat jawa dalam kacamata Islam dan tentu akan mengusik mereka. Adapun untuk misi Jam’iyyah, kami membutuhkan waktu cukup lama untuk proses pendalaman dan analisis kondisi riil serta eksistensi Jam’iyyah Persis Magetan. Kendati sebelum berangkat kami mendapat informasi umum dari PP. Persis mengenai kondisi PD. Persis Magetan yang sedang dalam kondisi konflik internal, sehingga kami menyimpulkan eksistensinya ada walau kadernya berceceran. Namun berdasarkan analisis dan pendalaman selama kurang lebih dua bulan ini, kami bisa mengetahui betul kondisi riil Jam’iyyah Persis di Kab. Magetan, bukan hanya dari informasi umum yang mumkin itu bukan dari hasil analis lapangan!.
Secara historis, Persis di Magetan hadir kurang lebih sejak tahun ‘90-an, tokoh utamanya adalah ustad Nardi. Beliaulah yang berjasa banting tulang membesarkan Jam’iyyah, berkorban tenaga bahkan harta. Beliau mendirikan pesantren persis dan membina 7 masjid (Jama’ah) di beberapa kecamatan sampai beliau pulang ke kharibaan-Nya. Selama masa perjuangannya, beliau selalu dijenguk oleh Allahuyarham Ust. Shidiq Amien pada saat menjadi ketua umum persis (terlepas apakah beliau mengatasnamakan PP. Persis atau hanya sebatas pribadi).
Secara organisasi, Persis di Magetan sudah terbentuk menjadi PD. Persis dengan 7 Jamaa’ah binaan. Tokoh-tokoh yang pernah ikut membersamai Ustad Nardi di antaranya pak Muallim, pak sarwito, Ust. Gunawan, Ust. Dede, Ust. Sholeh, dll. Akan tetapi, pasca Allahuyarham Ust. Shidiq Amien wafat, pembinaan mumkin ada (entah siapa) tapi tidak sesering oleh beliau, kemudian tidak lama dari itu, Ust. Nardi pun wafat. Pada waktu itu, PD. Persis Magetan mengadakan Musyawarah Daerah dan terpilih pak Sarwito pada beliau juga adalah ketua cabang Muhammadiyyah. Maka orang-orang seperti Ust. Gunawan, Ust. Dede, Ust. Sholeh memilih walk-out. Sebab orang-orang yang selama ini membersamai ustad nardi merangkap organisasi dengan Muhammadiyyah.
Setelah pak sarwito terpilih menjadi ketua PD. Persis Magetan, beliau datang ke Pak Muallim dan menyerahkan stempel PD. Persis (maksudnya mengundurkan diri). Maka sejak itulah Persis di Magetan vakum kepengurusannya dan juga pembinaan dari pusat terputus. Selama kurang lebih 6-7 tahun, jama’ah yang sudah dibina oleh ustad Nardi satu persatu ikut bergabung dengan Muhammadiyyah, karena dalam pandangan mereka Persis dan Muhammadiyah ibarat adik kaka. Bukan hanya Jama’ah, tetapi masjid-masjid yang sudah memiliki identitas sebagai Jam’iyyah Persis pun satu persatu berubah; ada yang menjadi Muhammadiyyah, ada yang menjadi NU, dan ada yang menjadi Jama’ah Tablig. Bahkan Jama’ah Tawang yang saat ini kami bina sejatinya adalah Jama’ah Muhammadiyyah bukan lagi Persis sebagaimana dalam anggapan kami dan mumkin juga PP. Persis. Selain itu, pesantren persis yang didirikan oleh Ust. Nardi kini sudah tidak lagi menggunakan kurikulum persis, dan bahkan corak pesantren persis-nya bisa dibilang sudah hilang sama sekali.
Demikianlah sekelumit kisah singkat PD. Persis Magetan yang dibina sudah sejak lama oleh para perintisnya. Namun karena tidak ada proses kaderisasi untuk melanjutkan estapet perjuangan dakwah Jam’iyyah Persis, maka jama’ah yang dibina pun satu persatu berpindah kapal perjuangan. Ini merupakan satu pelajaran bagi para aktivis Jam’iyyah agar jangan sekalipun menyepelekan pembinaan walau hanya sebatas menanyakan kabar. Karena dengan itu pendekatan emosional akan tetap berjalan dan kesadaran ruang untuk memiliki tetap dipegang teguh.
Misalnya, dalam salah satu pernyataan disebutkan: “Keberhasilan satu organisasi dapat diukur dari kesuksesan dalam proses kaderisasi.” Oleh karenanya, jika para aktivis dakwah dan atau pemimpin sebuah organisasi melupakan proses kaderisasi atau bahkan memutuskan proses kaderisasi, seolah mereka sudah memutuskan generasi sewaktu itu juga. Sebagaimana Alm. Nashrullah Qorib mengatakan “Seorang kader yang tidak mampu mengkader adalah pemutus generasi.”
Maka dari itu, kaderisasi merupakan poin penting dari sebuah organisasi, bukan hanya sebatas program kerja yang bisa berlanjut atau tergantung pada situasi dan anggaran. Lebih jauh dari itu, kaderisasi merupakan jantungnya sebuah organisasi/Jam’iyyah yang bisa menentukan detaknya akan berlanjut atau berhenti; eksistensinya akan tetap mewujud atau tinggal kepingan sejarah; ideologinya akan tetap bertahan atau ditelan zaman yang silih berganti. Sehingga para pemimpin sebuah organisasi jangan sesekali melupakan proses kaderisasi dan pembinaan kepada umatnya walau hanya dengan say hallo. Karena perlu dicatatat, tidak semua jama’ah atau kader memiliki mental petarung di gelanggang perjuangan; boleh jadi dari mereka ada yang manja sehingga perlu perhatian; ada yang bingung konsep arah gerakan sehingga mereka perlu pembinaan; dan ada yang pemalu sehingga mereka perlu dipaksa untuk tampil.
Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak boleh pesimis dengan rupa-rupa karakter kader, apalagi membunuh cita-citanya dengan umpatan dan kata-kata membunuh karakter. Sebagaimana moyang kita, bapak Muhammad Natsir memberi satu wejangan penting yang perlu direnungkan oleh setiap pemimpin Jam’iyyah: pemimpin itu, bukanlah membunuh cita-cita yang akan tumbuh, tetapi memupuk dan membesarkan tunas yang akan menjelma supaya ia lekas dapat menyambung generasi yang telah tua.
Dengan demikian, tulisan sederhana ini, hendak mengurai satu fenomena lapangan Jam’iyyah Persis di Magetan Jawa Timur tempat kami menjalankan amanah program Kafilah Du’at PP. Persis. Bahkan bukan hanya to Magetan saja, melainkan hasil Sharing dengan Du’at yang berada di tempat lain di berbagai daerah. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi renungan bagi semua elemen Jam’iyyah Persis dan Otonom, kendati para ikhwah merasa sudah maksimal dalam berjuang di Jama’ah masing-masing (dalam scope sunda atau Jabar), tetapi apa salahnya berkelana dengan pengalaman yang tak seberapa ini, agar mendapat gambaran dan peta gerakan baru untuk terus menasionalkan Persis secara nyata bukan sebatas klaim semata.
Persis di Magetan; dari Sini Kita Mesti Belajar
Sebagai orang asing di Magetan –tepatnya Kp. Tawang- dengan membawa dua amanah misi dakwah, yaitu menebar risalah Qur’an-Sunnah ditengah masyarakat yang masih kental dengan adat jawanya dan misi Jam’iyyah untuk mengorganisir Jama’ah yang dalam kacamata PP. Persis sedang konflik internal. Maka kami tertentut untuk tidak grasa-grusu, tetap menjaga etika sebagai orang baru dan terutama menjaga marwah Jam’iyyah Persis. Maka agenda pertama yang kami lakukan adalah Ta’aruf, dalam arti tidak hanya memperkenalkan diri menanyakan Asmani sinten (siapa namanya?). Tetapi, proses adaptasi menganalisis lapangan, kondisi social-cultural masyarakat, heterogenitas organisasi dan bahkan agama. Hal ini merupakan bagian penting untuk mensukseskan dua misi yang kami bawa. Sebagaimana dalam teori fenomenal perang Sun Tzu (The Art of War) disebutkan: Kenali dirimu, kenali musuhmu, dan kenali medan tempurmu. Maka kau akan memenangi seribu pertempuran.
Dua bulan berlalu, selain menjalankan rutinitas kegiatan, kami memaksimalkan untuk menyelesaikan proses Ta’aruf agar dua misi yang ditargetkan mendapat gambaran yang jelas dan strategi seperti apa yang mesti dilakukan. Terkait misi dakwah Qur’an-Sunnah, sampai saat ini kami bisa berjalan lancar tanpa ada rintangan, kendati masyarakat terkadang menanyakan hukum-hukum seputar adat jawa dalam kacamata Islam dan tentu akan mengusik mereka. Adapun untuk misi Jam’iyyah, kami membutuhkan waktu cukup lama untuk proses pendalaman dan analisis kondisi riil serta eksistensi Jam’iyyah Persis Magetan. Kendati sebelum berangkat kami mendapat informasi umum dari PP. Persis mengenai kondisi PD. Persis Magetan yang sedang dalam kondisi konflik internal, sehingga kami menyimpulkan eksistensinya ada walau kadernya berceceran. Namun berdasarkan analisis dan pendalaman selama kurang lebih dua bulan ini, kami bisa mengetahui betul kondisi riil Jam’iyyah Persis di Kab. Magetan, bukan hanya dari informasi umum yang mumkin itu bukan dari hasil analis lapangan!.
Secara historis, Persis di Magetan hadir kurang lebih sejak tahun ‘90-an, tokoh utamanya adalah ustad Nardi. Beliaulah yang berjasa banting tulang membesarkan Jam’iyyah, berkorban tenaga bahkan harta. Beliau mendirikan pesantren persis dan membina 7 masjid (Jama’ah) di beberapa kecamatan sampai beliau pulang ke kharibaan-Nya. Selama masa perjuangannya, beliau selalu dijenguk oleh Allahuyarham Ust. Shidiq Amien pada saat menjadi ketua umum persis (terlepas apakah beliau mengatasnamakan PP. Persis atau hanya sebatas pribadi).
Secara organisasi, Persis di Magetan sudah terbentuk menjadi PD. Persis dengan 7 Jamaa’ah binaan. Tokoh-tokoh yang pernah ikut membersamai Ustad Nardi di antaranya pak Muallim, pak sarwito, Ust. Gunawan, Ust. Dede, Ust. Sholeh, dll. Akan tetapi, pasca Allahuyarham Ust. Shidiq Amien wafat, pembinaan mumkin ada (entah siapa) tapi tidak sesering oleh beliau, kemudian tidak lama dari itu, Ust. Nardi pun wafat. Pada waktu itu, PD. Persis Magetan mengadakan Musyawarah Daerah dan terpilih pak Sarwito pada beliau juga adalah ketua cabang Muhammadiyyah. Maka orang-orang seperti Ust. Gunawan, Ust. Dede, Ust. Sholeh memilih walk-out. Sebab orang-orang yang selama ini membersamai ustad nardi merangkap organisasi dengan Muhammadiyyah.
Setelah pak sarwito terpilih menjadi ketua PD. Persis Magetan, beliau datang ke Pak Muallim dan menyerahkan stempel PD. Persis (maksudnya mengundurkan diri). Maka sejak itulah Persis di Magetan vakum kepengurusannya dan juga pembinaan dari pusat terputus. Selama kurang lebih 6-7 tahun, jama’ah yang sudah dibina oleh ustad Nardi satu persatu ikut bergabung dengan Muhammadiyyah, karena dalam pandangan mereka Persis dan Muhammadiyah ibarat adik kaka. Bukan hanya Jama’ah, tetapi masjid-masjid yang sudah memiliki identitas sebagai Jam’iyyah Persis pun satu persatu berubah; ada yang menjadi Muhammadiyyah, ada yang menjadi NU, dan ada yang menjadi Jama’ah Tablig. Bahkan Jama’ah Tawang yang saat ini kami bina sejatinya adalah Jama’ah Muhammadiyyah bukan lagi Persis sebagaimana dalam anggapan kami dan mumkin juga PP. Persis. Selain itu, pesantren persis yang didirikan oleh Ust. Nardi kini sudah tidak lagi menggunakan kurikulum persis, dan bahkan corak pesantren persis-nya bisa dibilang sudah hilang sama sekali.
Demikianlah sekelumit kisah singkat PD. Persis Magetan yang dibina sudah sejak lama oleh para perintisnya. Namun karena tidak ada proses kaderisasi untuk melanjutkan estapet perjuangan dakwah Jam’iyyah Persis, maka jama’ah yang dibina pun satu persatu berpindah kapal perjuangan. Ini merupakan satu pelajaran bagi para aktivis Jam’iyyah agar jangan sekalipun menyepelekan pembinaan walau hanya sebatas menanyakan kabar. Karena dengan itu pendekatan emosional akan tetap berjalan dan kesadaran ruang untuk memiliki tetap dipegang teguh.
Tags
Artikel